First week in Canada, mild winter.
Unek-unek tentang temanku si kopi
Si kopi, temanku?
Sejak kapan? Aku tidak ingat pasti. Yang kuingat, dulu aku tak suka padanya. Mengapa? Tentu saja karena dia pahit. Tidak seperti si susu kental manis atau si teh manis. Memangnya ada, orang yang suka pahit? Paling-paling, mereka menyentuh si kopi kalau ada si gula. Sesendok, atau dua, bahkan tiga. Kecuali kalau sudah diabetes.
Kalau ada yang manis, mengapa memilih yang pahit? Betul tidak? Ya, kecuali, kecuali kalau kamu memang suka segalanya yang pahit. Aku juga begitu. Dulu. Aku mau dengan si kopi, tapi kalau ada si susu, ada si gula. Dulu aku sama dengan kamu, tidak suka yang pahit. Makanya aku tidak mau dekat-dekat dengan si kopi. Dulu.
Tapi... Beberapa dari mereka bilang, si kopi itu baik, sangat baik. Dia itu begitu nikmat. Kata mereka. Membuatku ingin. Tapi banyak juga yang bilang, dia itu, tidak baik. Sebaiknya dijauhi saja. Jadi bagaimana? Tapi aku juga takut. Bagaimana kalau benar. Tapi aku terlalu ingin. Sangat ingin. Jadi aku harus bagaimana? Aku ingin berteman dengan si kopi. Tapi kalau yang lain menjauhiku, sebab aku dekat dengan si kopi, bagaimana? Meski menurutku, dia itu, sepertinya baik.
Bagaimana kalau kita berteman? Begitu tanyaku pada si kopi di suatu malam. Dia belum mengiyakan. Kutanya lagi malam setelahnya. Dia masih belum mengiyakan. Kutanya lagi malam berikutnya. Dan malam sesudahnya. Dan seterusnya. Ia setia menemani malam-malamku.
Sekarang aku ingat. Aku ingat sejak kapan si kopi menjadi temanku.
Ya sejak malam itu. Malam kesekian. Ketika aku membutuhkan sesuatu yang mungkin sama pahitnya dengan yang ada di dalam diriku. Ya itulah si kopi. Jadi kami sama. Aku butuh si kopi. Aku suka dia. Maaf kalau kamu tidak setuju. Mungkin memang aku tidak lagi sama dengan kamu. Kamu masih benci pahit. Aku tidak. Maaf... Tapi sekarang kopi itu, sudah sama denganku. Sama pahitnya. Karena si kopi, aku tahu ada yang pahit selain aku.
Itulah mengapa aku mendekatinya. Dia itu, nikmat. Sangat. Jadi aku ingin lebih dekat. Semakin dekat. Semakin dia nikmat. Aku jadi ingin semakin dekat. Dan terus aku mendekat. Tapi, eh... tunggu.., dia tak sama lagi. Sekarang dia kurang pahit. Tidak seperti aku. Aku ini, sudah semakin pahit sekarang.
Sebaiknya aku mendekat lagi. Sedekat-dekatnya. Sampai dia kembali terasa pahit. Tapi kemudian. Lagi-lagi, dia kurang pahit. Dan aku, sepertinya, malah jadi lebih pahit daripada dia.
Aku terus mendekat. Lagi. Lagi. Lagi. Semakin dekat. Dan aku sangat dekat. Tapi tunggu, ini, tunggu, ini tidak benar, karena aku ini terlalu dekat. Aku malah menjadi sangat pahit. Aku tidak mau, Aku tidak suka menjadi terlalu pahit. Tapi aku sudah terlanjur menyukai dan terbiasa dengan yang pahit, sampai aku lupa bagaimana menjelaskan yang tidak pahit...