My journey part 1: Sang pemimpi

"Wisuda... ah bahagianya... Akhirnya setelah perjuangan selama bertahun-tahun, aku resmi menjadi seorang sarjana muda, fresh graduate. Menyelesaikan studi, meraih gelar sarjana, dan tentu saja membanggakan orang tua, keluarga, dan orang-orang terdekatku".

Sungguh momen yang paling membahagiakan. Mengenakan jubah dan toga, mendapat bunga dan hadiah, serta ucapan selamat yang berdatangan dari segala penjuru. Bak putri semalam, hanya semalam, karena yang selanjutnya dihadapi adalah berbagai pertanyaan yang mengusik seperti ini:

"Mau ngapain sekarang?"
"Sudah dapat kerja?"
"Mau kuliah lagi, apa langsung kerja?
"Jadi, kapan nikah?"


Post-graduation issues

Yappp, bagi fresh graduate (di Indonesia khususnya), berbagai pertanyaan terebut yang sudah tidak asing lagi di telinga. Begitu pula halnya denganku ketika aku baru menyelesaikan studi sarjanaku di Jurusan Pendidikan Matematika di Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha) Singaraja. Saat itu tahun 2014. Aku seorang sarjana namun aku benar-benar belum tahu jelas apa rencanaku. Biasanya, para lulusan kampusku akan bekerja menjadi seorang pengajar, entah guru, pengajar les privat, atau dosen, sebab Undiksha memang sebuah universitas yang berfokus untuk "mencetak" calon pendidik, calon guru.

Seperti biasa, post graduation anxiety, insecurity, and confusion are coming...

Sejujurnya passion-ku bukanlah untuk menjadi seorang guru. Entahlah, aku hanya merasa profesi itu kurang sesuai dengan minatku. Aku memang seorang lulusan Pendidikan Matematika. Tapi dari dua kata pada nama itu, sepertinya aku lebih suka kata "Matematika".

Kalau begitu, mengapa aku tak mengambil Matematika murni saja sejak awal? Yap, memang seringkali aku berpikir bahwa semestinya aku mengambil jurusan Matematika murni, dibandingkan dengan pendidikan Matematika. Pikiran-pikiran itu-lah yang selalu bergerilya di otakku selama sekian tahun masa studiku. Kadangkali aku merasa berada di jalur yang salah. Tapi.. ya sudahlah, toh pada akhirnya aku bisa menjalani kuliahku secara maksimal dan berhasil menyelesaikannya.

Well, that was actually not too bad, even I can say that it was a good situation. Sebagai sarjana Pendidikan Matematika, aku bahkan memiliki pilihan lebih banyak: menekuni profesi untuk menjadi seorang guru, atau fokus ke di bidang Matematika murni.

Pada masa akhir kuliahku, aku berkutat dengan hati dan logika-ku sendiri, untuk menjawab pertanyaan itu. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Sebenarnya saat itu aku mendapat tawaran untuk menjadi seorang pengajar di salah satu SMA swasta di Singaraja, di samping juga aku bekerja freelance sebagai pengajar les privat. Namun seperti yang kukatakan tadi, ada hal yang terasa mengganjal.

Pertanyaan selanjutnya muncul: dimana aku akan kuliah, di dalam negeri atau di luar negeri? Kalau di dalam negeri, di kampus apa? Jika di luar negeri, bagaimana caranya? Pasti susah. Minim informasi, nol besar untuk pengalaman merantau, plus kemampuan bahasa inggris yang ala kadarnya.

Dari segi finansial, situasiku cukup sulit pada waktu itu. Situasi ekonomi keluargaku tidak cukup baik untuk aku bisa melanjutkan studi master, sebab ada tiga orang adikku yang juga masih di bangku sekolah. Jadi, jalanku satu-satunya adalah dengan mendapatkan beasiswa. Mulalilah aku berburu informasi tentang beasiswa, dan ternyata sangat banyak pilihan. Ada Fullbright dari Amerika Serikat, AAS (Australia Awards Scholarship) dari Australia, StuNed dari Belanda, Eiffel dari Prancis, dan sebagainya. Dari pemerintah Indonesia juga ada banyak peluang: Beasiswa Unggulan dan program PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul) dari DIKTI, ada pula LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dari Kementerian Keuangan.

Semesta nampaknya mendukung rencana-rencana dan mimpi-mimpiku!


Next step

Pasca wisuda, aku mendapat tawaran untuk menjadi seorang asisten pengajar di Undiksha. Adalah pembimbing skripsi-ku dulu, namanya Pak Nengah. Semasa kuliah, memang sempat dua tiga kali kami berbincang tentang rencanaku setelah lulus. Beliau adalah orang pertama yang memberikan aku dorongan untuk kuliah di negeri.

Long story short, akhirnya aku menjadi asisten Pak Nengah untuk mengajar dua mata kuliah, yaitu Kombinatorika dan Teori Koding. Lumayan kan untuk melatih kemampuan mengajarku kalau-kalau nanti bisa jadi dosen (svaha 😇). Di sela-sela kesibukanku mengajar di SMA dan beberapa les privat (meski kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak sesibuk itu sih..), aku menyempatkan diri untuk mengasah kemampuan bahasa inggrisku dengan latihan tes TOEFL.

Memang, perjuangan itu panjang dan tak mudah.

Cukup banyak hal yang aku pelajari selama menjadi asisten dosen. Beberapa kali beliau juga memintaku untuk menggantikan beliau membina tim olimpiade Matematika, sungguh pengalaman yang luar biasa. Yang pasti, hal itu juga yang kian memantapkan hatiku untuk meraih mimpiku menjadi seorang dosen Matematika.


Perjalanan ke Vietnam

Suatu ketika Pak Nengah menginformasikan tentang kegiatan SEAMS (South East Asian Mathematics Society) School di Hanoi, Vietnam (perjalan ini akan aku ceritakan nanti dalam thread yang berbeda). By the way, beliau juga menulis untukku, sebuah recommendation letter untuk mengajukan funding sehingga bisa berpartisipasi dalam kegiatan itu 😍. Well.. intinya, aku berangkat ke Hanoi!

In Hanoi, I made new friends, I met great people! They did have same dreams as me. I would say, the winter school totally opened a new path in my life!

Ketika mengikuti summer school di Hanoi, bersama Dr. Christophe (di belakang kanan, baju putih)

Aku bertemu seorang dosen dari Lyon, Prancis. Namanya Dr. Christophe Crespelle. Dalam suatu kesempatan, kami berbincang tentang planning-ku di akademia, apa yang ingin kulakukan sebagai fresh graduate, spesifikasi bidang yang ingin aku tekuni, dan sebagainya. Kusampaikan bahwa aku ingin fokus ke "Combinatorics" - salah satu cabang Matematika yang sangat menarik bagiku. Beliau menyarankan aku untuk melanjutkan kuliah di jurusan "Computer Science". Beliau juga memperkenalkan ENS de Lyon (École normale supérieure de Lyon). Sejujurnya, pada saat itu I completely had no idea about what Computer Science is. Bagi aku yang sangat awam, Computer Science = Informatika di Indonesia, yang bagi banyak orang tidak linier dengan Math.

But anyway, I said yes - aku terima tawaran beliau. Aku kirimkan beberapa dokumen yang beliau minta - CV, ijazah, transkrip, abstrak skripsi, dan sebagainya - untuk dikirimkan ke koleganya di ENS Lyon. Beberapa hari kemudian, aku mendapat jawaban dari Dr. Christophe.

My admission for the Master program for academic year 2015-2016 was accepted. Yes, I was absolutely happy for that!

Tapi berita buruknya adalah, aku terlambat untuk mendaftar beasiswa S2 yang disediakan ENS untuk mahasiswa internasional. Jadi sebenarnya pendaftaran di ENS sudah ditutup pada bulan Februari - dan saat itu adalah bulan Maret 2015. Hanya saja, mereka mempertimbangkan untuk mengizinkan pendaftaran. So, I had to find another way, karena tidak mungkin aku berangkat ke Prancis dengan biaya sendiri.


Susahnya cari beasiswa

Saat itu aku punya cukup waktu untuk melamar beasiswa, karena perkuliahan baru akan dimulai pada bulan September. Akhirnya targetku saat itu adalah beasiswa LPDP dengan tujuan kuliah luar negeri. Kebetulan ada bukaan beasiswa untuk bulan Juni 2015. Aku menyiapkan semua yang dibutuhkan. Aku sudah punya LoA (Letter of Acceptance), semacam surat penerimaan dari kampus. Aku juga telah mempersiapkan diri untuk tes TOEFL. It should be fine, harusnya segalanya baik-baik saja, pikirku.

Bulan Juni aku mendaftar LPDP - seleksi tahap pertama, administrasi. And you know what... I got rejected 😭 nilai TOEFL-ku hanya 533, kurang 17 point dari syarat pengajuan beasiswa kuliah luar negeri yang mana adalah 550. Semesta sedang enggan berkompromi nampaknya. Aturan sebelumnya mensyaratkan "sudah punya LoA atau skor TOEFL minimal 550", tapi pada periode itu syaratnya menjadi "skor TOEFL minimal 550, meskipun sudah punya LoA".

Duniaku terasa runtuh! Bukannya aku lebay, tapi memang benar begitu adanya. Sedih! Sebab akhirnya, setelah aku memberitahu Dr. Christophe, kata beliau, solusi satu-satunya ya aku harus menunggu setahun lagi untuk mengikuti admission di tahun berikutnya. Jadi, gap year ku bertambah satu tahun lagi.

Jadi aku pasrah, mau bagaimana lagi? Aku harus berani menerima, dan memang itu harus diterima. A wise man says "failure is a part of success". So, I won't give up on my dream! I believe I'm heading to France! - itu yang ada di pikiranku saat itu.

Bersambung...