Catatan kecil tentang menjadi dosen muda

Sejak bulan Februari 2022 hingga saat ini, saya bertugas sebagai staf pengajar di Prodi Ilmu Komputer Universitas Pendidikan Ganesha. Saya baru menjalankan tugas sebagai staf pengajar selama satu semester, dan saya baru mendapatkan tanggung jawab untuk mengajar satu mata kuliah. Dasar keilmuan saya adalah Matematika, dimana saya menempuh S1 Pendidikan Matematika, dan pendidikan S2 dan S3 saya adalah di bidang Ilmu Komputer (murni).

Bertahun-tahun yang lalu, ketika menempuh pendidikan S1 di Prodi Pendidikan Matematika, saya sempat beberapa kali mendapatkan tugas sebagai asisten dosen. Pun demikian ketika saya melaksanakan studi S3, dimana saya menjadi tutor asistensi untuk mahasiswa S1 dan S2 di kampus tempat saya melaksanakan studi di Prancis. Akan tetapi, nampaknya pengalaman itu tidak cukup banyak untuk saya dapat menjalankan tugas sebagai seorang pendidik di Perguruan Tinggi. Sebab, selama satu semester menjalankan tugas, saya beberapa kali mempertanyakan tentang kapasitas saya sebagai seorang pendidik. Apakah saya sudah menjalankan tugas dan fungsi saya dengan baik? Apakah saya sudah berhasil membelajarkan mahasiswa? Apakah tujuan dari pembelajaran yang saya laksanakan sudah tercapai? Apakah metode pembelajaran yang saya terapkan sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Prodi, Universitas, maupun standar DIKTI? Dan berbagai pertanyaan “apakah… apakah...” yang lainnya.

Pengalaman menempuh studi dan mengajar di Prancis selama 5 tahun tersebut, serta pengalaman menjadi asisten di Prodi Pendidikan Matematika Undiksha tentu saja turut terbawa ketika saya mulai bertugas di Prodi Ilmu Komputer Undiksha. Terlebih, waktu yang saya miliki beberapa bulan yang lalu ketika saya mulai menjalankan tugas sebagai seorang dosen rasanya tidak cukup untuk mempersiapkan diri saya secara maksimal. Alhasil, saya sedikit meraba-raba untuk mencari cara agar dapat menjalankan kegiatan pembelajaran dengan baik.

Ketika di Prancis, Departemen Ilmu Komputer dimana saya menempuh studi S2 dan S3 saya, yang juga adalah tempat saya mengajar selama 3 tahun memang adalah institusi yang berorientasi pada riset. Di samping itu, mahasiswa jenjang S1 maupun S2 yang menempuh studi umumnya melalui seleksi yang cukup ketat. Hal ini tentu memiliki pengaruh yang kuat terhadap bagaimana proses pembelajaran di kampus tersebut berlangsung. Pembelajaran yang dilaksanakan di Departemen tersebut cenderung berorientasi pada teori (theory-based). Mahasiswa diberikan materi dengan tingkat kompleksitas yang meningkat sesuai jenjangnya. Bahkan, ada banyak mahasiswa yang mengajukan protes (kritik) kepada dosen, ketika rasional suatu teorema yang diberikan hanya ditunjukkan kebenarannya secara intuitif, dan buktinya tidak didemonstrasikan secara formal (dengan menggunakan pembuktian formal matematis). Pola pembelajaran kurang lebih selalu seperti ini: dosen datang ke kelas – memberikan perkuliahan dengan metode ceramah dan tanya-jawab – perkuliahan selesai – pemberian tugas – UTS – UAS. Demikian polanya selama satu semester, dua semester, tiga semester, demikian seterusnya. Dosen tidak terlalu banyak memperhatikan proses berpikir atau proses-proses lain yang terjadi pada mahasiswa selama perkuliahan. Ini benar-benar mencerminkan sebuah metode pembelajaran di Perguruan Tinggi yang bagi banyak pendidik di Indonesia dikatakan sangat jadul atau konvensional! Pengalaman ini secara pribadi memberikan kesan bagi saya tentang apa yang diharapkan sebagai sebuah proses maupun hasil dari penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi. Bahwasanya, mahasiswa datang ke Perguruan Tinggi sudah dengan tekad yang kuat tentang tujuan mereka, yakni untuk belajar.

Jika menilik lebih jauh, bisa kita lihat bahwa model pembelajaran konvensional seperti ini memang tidak hanya diterapkan di kampus tempat saya melaksanakan studi. Dari berbagai cerita yang saya dengar dari rekan-rekan dosen, maupun yang saya amati sendiri, nampaknya masih banyak pula yang tidak meninggalkan metode ini, termasuk beberapa institusi Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia. Kembali ke Undiksha setelah 8 tahun tidak mengikuti perkembangan pendidikan di Undiksha membuat saya lupa tentang berbagai aspek yang menjadi pertimbangan seorang pendidik dalam mengelola kegiatan pembelajaran.Akibat dari semua itu, metode inilah yang menjadi pilihan pertama saya ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran pada semester yang lalu.

Kembali ke pertanyaan inti, terkait dengan beberapa poin dalam kegiatan pembelajaran yang menurut saya menarik. Saya bisa bercerita tentang beberapa poin berikut.

  • Pada pertengahan semester pertama, saya menerapkan pembelajaran konvensional, dengan ceramah dan tanya-jawab. Meskipun, dalam pembelajaran tersebut, saya sudah menerapkan beberapa hal seperti berorientasi pada HOTS.

  • Dalam pembelajaran, saya menyediakan beragam sumber belajar, misalnya textbook, slide perkuliahan per minggu yang saya rangkum dari beberapa literatur, dan sebagainya, yang semuanya dikelola melalui e-learning. Setiap minggu, saya mengunggah slide perkuliahan agar dapat diakses oleh mahasiswa.

  • Saya termasuk cukup aktif dalam memberikan tugas. Dalam rasional saya, tugas-tugas tersebut ditujukan agar mahasiswa merasa memiliki tanggung jawab untuk belajar dan menguasai kompetensi yang memang seharusnya mereka miliki. Tugas-tugas yang saya berikan cukup bervariasi, mulai dari menjawab soal-soal sederhana hingga permasalahan yang cukup kompleks, hingga membuat makalah ilmiah, dimana tugas diselesaikan secara mandiri ataupun berkelompok.

  • Dalam asesmen, saya berusaha menjalankan prinsip akuntabilitas, dimana untuk setiap tugas yang saya berikan, saya memeriksa pekerjaan semua mahasiswa dan memberitahukan nilai asesmen mahasiswa secara terbuka.

  • Untuk UTS, saya melaksanakan ujian secara tertulis melalui platform untuk online meeting dimana mahasiswa diwajibkan untuk menyalakan kamera selama pelaksanaan ujian. Lalu, apa yang terjadi? Evaluasi tengah semester yang saya lakukan kepada mahasiswa saya menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya di awal semester. Saya seringkali menemukan masih banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas secara asal-asalan, istilahnya “asal ngumpul saja”. Ada yang mengumpulkan copy-paste tugas mahasiswa lain, bahkan ada yang mengumpulkan kertas kosong. Hasil UTS tidak jauh berbeda. Mahasiswa cenderung mengerjakan ujian dengan tidak jujur, dan tidak serius. Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya sistem daring ini, masalah-masalah seperti ini nampaknya semakin sering muncul di lapangan. Intinya, mahasiswa yang “malas” cenderung tetap seperti itu.

  • Pertengahan semester yang kedua, saya memutuskan untuk mengubah pola pembelajaran yang saya lakukan. Saya tidak lagi mengajar dengan prosedur ceramah & tanya jawab, melainkan dengan memberikan tugas mingguan kepada mahasiswa untuk melakukan presentasi kelompok secara bergantian setiap minggunya. Topikyang saya berikan terkait dengan pembahasan kasus-kasus sederhana yang berkaitan dengan topik bahasan pada minggu tersebut. Dari yang saya amati, metode ini nampaknya cukup efektif untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam perkulian. Hal ini melatih mahasiswa untuk menjelaskan, berkomunikasi, dan keterampilan lainnya. Sebagian besar mahasiswa mengerjakan tugas tersebut dengan baik, meskipun masih ada saja yang mengerjakan dengan tidak serius.

  • Dalam pertengahan semester kedua, saya masih memberikan berbagai tugas. Namun, yang menjadi poin penting adalah saya mendesain tugas-tugas tersebut agar dapat dikerjakan secara mandiri, tanpa copy-paste dari mahasiswa lain.

  • Selanjutnya, tugas yang terindikasi curang akan diberikan nilai 0. Namun mahasiswa diberikan kesempatan untuk memperbaiki, dengan beberapa pertimbangan. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa terjadi perubahan tingkah laku mahasiswa ke arah yang positif. Misalnya, beberapa mahasiswa yang awalnya malas untuk mengerjakan tugas, kemudian mulai mengerjakan tugas yang diberikan. Di samping itu, dengan meyakinkan mahasiswa bahwa tugas-tugas mereka saya koreksi dengan baik, integritas mahasiswa dalam mengerjakan tugas menjadi lebih baik. Yang paling terlihat adalah saat pelaksanaan UAS. Metode yang saya terapkan saat UAS kurang lebih sama dengan UTS, dimana saya mewajibkan semua mahasiswa untuk on-cam. Namun, hasil penilaian UAS cenderung lebih baik dibandingkan hasil UTS. Dari segi penilaian kognitif, nilai mahasiswa secara umum ada sedikit peningkatan. Dari segi penilaian afektif, presentase terjadinya kecurangan juga menurun.

Secara umum, dapat saya simpulkan bahwa pembelajaran di Perguruan Tinggi memang sebaiknya didesain sesuai dengan tingkat kemampuan kognitif mahasiswa. Yang terpenting adalah bahwa pembelajaran tersebut benar-benar membelajarkan mahasiswa. Bukan hanya sekedar aktivitas formal untuk memenuhi kewajiban 50 menit/SKS. Kemudian, perlu ditekankan bahwa dalam pembelajaran, seorang pendidik/dosen hendaklah senantiasa mengedepankan pendidikan karakter. Hal ini menjadi salah satu poin utama dalam pembelajaran yang saya lakukan. Saya sangat tidak mentolerir mahasiswa yang melakukan plagiasi ataupun kecurangan lainnya, baik dalam pengerjaan tugas maupun saat ujian.

Di samping itu, yang mungkin perlu menjadi renungan adalah, dengan adanya berbagai macam model pembelajaran inovatif yang dikembangkan saat ini, ini bukan berarti bahwa metode kovensional seperti ceramah dan tanya-jawab sudah tidak baik dan tidak ideal untuk diterapkan. Sebab, sudah terbukti pula bahwa dalam banyak kasus, metode ini masih mampu meningkatkan kompetensi mahasiswa dengan cukup baik, sebagaimana yang saya alami dan amati di Prancis atau beberapa perguruan tinggi unggulan di Indonesia. Namun, sayaharus memberikan catatan bahwa peserta didik di Undiksha memiliki karakteristik yang mungkin berbeda dengan mahasiwa di perguruan tinggi lainnya.

Sekian catatan saya, semoga bermanfaat.

Merdeka Belajar untuk Mahasiswa