First week in Canada, mild winter.
Shake up my life: learning to be happy
Si kopi, temanku?
Dalam kurun waktu yang cukup lama sesungguhnya aku merasa tidak bahagia. Alasannya aku tidak tahu pasti. Aku memiliki keluarga yang utuh, pendidikan yang lancar dengan hasil yang menurutku cukup baik, penghasilan yang cukup, dan aku memiliki pasangan yang selalu memberikan support atas segala yang aku kerjakan. Tapi aku tidak yakin bahwa aku bahagia. Selalu ada hal yang terasa kurang di dalam hidupku. Ada beban di bahuku, dimanapun kakiku menginjak. Ada tekanan di kepalaku, di bawah langit manapun aku berdiri. I was not happy!
Pada suatu ketika, aku sampai pada suatu titik, yang kurasakan adalah salah satu titik balik yang paling penting di dalam hidupku. Itu adalah titik dimana aku memutuskan untuk menerima diriku. Titik dimana aku memaafkan semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Titik dimana aku merelakan semua hal yang ada dalam daftar kegagalanku. Titik dimana aku memutuskan untuk bahagia. Bahagia atas segala hal yang terjadi dalam hidupku, dengan semua pencapaian dan kegagalanku.
TAku belajar untuk memandang sesuatu dari perspektif yang lebih luas. Pada dasarnya aku cenderung melihat sesuatu dari perspektif yang terbatas, dan hanya berdasarkan pada hal yang terjadi pada hidupku. Perlahan aku mulai melihat sesuatu berdasarkan pada perspektif orang lain, membandingkannya dengan apa yang kupikirkan saat itu. Aku belajar membuka diri, membuka lebih lebar mata dan pikiranku. Lalu saat itulah aku bisa melihat berbagai hal dengan lebih jelas, dengan cara jauh lebih baik daripada sebelumnya.
BKemudian, dibandingkan dengan menyesali semua kegagalanku, meratapi hal yang tidak mampu aku capai, aku belajar fokus pada hal-hal yang aku miliki. Fokus pada potensi yang ada di dalam diriku. Aku menggali berbagai hal positif yang bisa menambah kualitas diri dan kualitas hidupku. Kemudian aku belajar bersyukur. Aku bersyukur karena aku masih bisa menuliskan ceritaku ini kepadamu. Aku bersyukur atas pencapaianku, bersyukur atas kegagalan yang pernah aku alami, bersyukur atas segala hal yang terjadi di dalam hidupku. Aku bersyukur. Dan aku bersyukur.
Aku belajar untuk merasa puas atas segala sesuatu yang menurutku tidak cukup sempurna meski kurasa usahaku sudah melebihi yang seharusnya. Kemudian aku belajar tersenyum. Melihat orang-orang di sekitarku tersenyum, seringkali mampu mengubah mood-ku pada saat itu. Maka aku putuskan untuk sering tersenyum agar orang lain juga merasakan efek yang sama sebagaimana halnya diriku. Ketika aku merasa jatuh, aku tersenyum kemudian aku berdiri lagi, kali ini dengan lebih kokoh. Aku berhenti membandingkan diriku dengan orang lain. Mereka adalah mereka, dan aku adalah aku. Aku merasa bahagia dengan tidak menjadi mereka.
Pada akhirnya, aku diet. Diet untuk hanya memasukkan hal positif ke dalam jiwaku. Diet untuk menjauhkan hal negatif dari pikiranku. Suatu hari, aku mengambil selembar kertas untuk menuliskan berbagai pemikiran negatif yang berhamburan di kepalaku. Cukup panjang, satu setengah halaman. Lalu aku buang kertas itu ke tempat sampah karena disanalah dia seharusnya berada. Semakin lama, tidak banyak hal yang bisa kutulis, hingga aku tidak membutuhkan kertas lagi untuk menuliskannya. Dan aku merasa bebas.
Lalu aku membeli sebuah buku, kutuliskan daftar hal yang membuatku bahagia. Tidak banyak. Hanya sepertiga halaman. Namun semakin hari, semakin banyak yang bisa kutuliskan. Sepertiga halaman menjadi satu lembar. Satu lembar menjadi dua, lalu tiga, empat, dan kini buku itu sudah hampir penuh terisi dengan daftar kebahagianku. Aku menjadi pribadi yang bebas, bersahabat dengan diriku sendiri, menyatu dengan jiwaku sendiri, dan dengan percaya diri kukatakan I am happy.